Segar yang Fana dan Awet yang Dingin

  • 08 Juni 2025
  • 10:58 WITA
  • Admin_Bio
  • Berita

Segar yang Fana, Awet yang Dingin

Ada sebuah adegan sederhana yang kerap mengundang tafakur, terutama bagiku seorang pengajar mikrobiologi, dunia tak kasat mata yang sehari-hari bergulat dengan kehidupan kita, namun berkuasa atas segala hal yang kita makan. Pagi itu, hari pertama selepas pulang mudik Idul Qurban, kehampaan yang samar mengambang di udara dapur. Kulkas berdengung lembut; isinya rapi, steril, teratur, namun terasa sunyi, nyaris beku, jauh berbeda dari suasana dapur di kampung yang penuh hiruk-pikuk aroma, denting panci, dan desah obrolan dan tawa riuh yang menghidupkan ruang.

Untuk mengisi kekosongan yang menggantung, kuajak pak suami dan beranjak menuju pasar tumpah yang tak terlalu jauh jaraknya dari kompleks. Mungkin, pikirku, secuil sisa kesegaran dari kampung bisa kubawa pulang ke dapur ini sbg penghibur di tengah kembalinya ke rutinitas.

Seperti biasa, sepulang dari pasar, kuluahkan isi belanjaan yang di dalamnya bertumpuk bayam segar, kangkung, wortel, kacang pnjang, dan sawi, masih basah oleh embun subuh dan sisa semprotan air pedagang. Warnanya memukau dan membangkitkan selera. Namun kutahu, detik demi detik, di permukaan dedaunan itu, jutaan mikroba tengah merayakan kemenangan dalam senyap. Flora alami yang membersamai sejak di ladang, kini diam-diam menemani setiap helaian daun.

Sesampainya di rumah, kubuka kulkas. Di hadapan rak pendingin, sejenak kutermangu. Di sebelah tumpukan sayur segar yang mesti segera diolah, tersimpan pula sekotak sayuran yang masih tampak segar berkemasan rapi yang merupakan. buah karya teknologi pengawetan modern. Warnanya pun masih hijau, tak kalah memikat di balik plastik transparan. Ia menjanjikan ketahanan seminggu lagi, mungkin bahkan lebih. Lalu, hati yang terbiasa berdiri di antara prinsip keilmuan dan kebijaksanaan praktis mulai berdialog: mana yang sebaiknya kupilih hari ini?. Pilihan kecil ini, kusadari, sejatinya adalah cerminan pergulatan besar yang kerap kubahas di ruang kuliah. Terutama saat mengulas materi kedua dalam Mikrobiologi Pangan: Prinsip Pengawetan Pangan.

Di kelas kami pernah membahas, pengawetan pangan bukan sekadar upaya memperpanjang umur simpan, melainkan seni yang halus, menyeimbangkan antara kualitas, keamanan, dan makna pangan itu sendiri. Setiap teknik pengawetan, entah itu pendinginan, pembekuan, pengeringan, pengasapan, atau modifikasi atmosfer, adalah bentuk intervensi manusia atas siklus alami kehidupan mikroba. Kita menunda laju pertumbuhan bakteri, kapang, khamir; kita memperlambat reaksi enzimatik yang mempercepat kebusukan. Namun dalam setiap penundaan itu, ada sesuatu yang tak bisa dibekukan: kesegaran rasa, emosi keterhubungan, dan mungkin jejak tangan petani yang baru saja memanen sayuran itu.

Bayam segar yang kubawa dari pasar mengandung semua itu: kesegaran yang hidup, yang penuh kisah, tetapi dengan konsekuensi kefanaannya. Sedangkan sayuran yang juga masih segar yang tersimpan di kulkas, walau telah berhari-hari di sana, adalah wujud kemenangan teknologi: mikroorganisme ditekan, umur simpan diperpanjang, distribusi dipermudah. Namun kesegaran yang hidup telah berganti dengan kesegaran yang diam.

Kuingin mahasiswa memahami dilema ini bukan semata sebagai persoalan teknis, melainkan sebagai persoalan etis dan filosofis. Bahwa menjadi mikrobiolog pangan berarti memahami bukan hanya bagaimana mengawetkan, melainkan juga kapan tidak perlu mengawetkan; kapan kita seharusnya membiarkan pangan mengikuti kodrat alaminya, menerima kefanaannya dengan penuh hormat. Pagi itu, akhirnya kupilih menyemplungkan bayam segar terlebih dahulu ke dalam beningnya kuah sederhana, memberikan penghormatan terakhir pada kefanaannya yang indah. Setiap lembar daun yang mengapung di panci bagai tarian singkat menuju perjamuan, membebaskan aroma yang mengingatkan pada ladang dan tangan-tangan petani. Sementara itu, sayuran beku? Ia tetap di sana dulu, di dalam kulkas, terjaga. Bukan sebagai lawan, melainkan sebagai sekutu yang senantiasa siap hadir di kala waktu dan kesempatan tak memihakku untuk selalu meraih yang segar.

Begitulah. Dari perjalanan mudik Idul Qurban hingga kembali ke rutinitas dapur kota, satu pelajaran baru kembali dapat kusisipkan dalam ruang kuliah: Teknologi pengawetan modern adalah buah kecerdasan manusia, yang patut dihargai, bukan dicurigai. Namun, teknologi betapa canggih pun, tetaplah alat bantu. Bukan pengganti kearifan dalam memperlakukan pangan, bukan pula penghapus jejak emosi dan makna yang melekat pada tiap bahan segar. Di antara kefanaan yang indah dan keawetan yang dingin, kita kembali dituntut menjaga keseimbangan. Bahwa di setiap pilihan pangan, sejatinya kita sedang berdialog dengan waktu. Dan dalam dunia mikrobiologi pangan, pengetahuan terbaik adalah yang mampu merangkul dengan rasa hormat yang sama, baik yang segar maupun yang awet. Wallahu a'lam bishawab. [HF]